Kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio membuka pintu persoalan di institusi perpajakan. Tidak biasanya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sampai harus turun gunung memberi tanggapan. Pertanyaannya, sebagai kepala institusi perpajakan, kenapa baru sekarang Sri Mulyani bersuara?
PinterPolitik.com
“There’s a monster outside my room,” – M. Night Shyamalan
Banyak yang melihat kasus Mario Dandy Satrio mirip dengan kasus Ferdy Sambo. Kasus keduanya sama-sama menjadi pintu terbukanya persoalan institusi ke hadapan publik. Pada kasus Sambo, kepercayaan terhadap institusi Kepolisian semakin merosot seiring dengan mencuatnya isu judi online dan terkikisnya harapan atas keadilan.
Pertanyaan banyak pihak sederhana. Jika di dalam internal Kepolisian saja terjadi tindak kejahatan semacam itu, lalu bagaimana polisi membawa keadilan bagi masyarakat?
Pada kasus Mario Dandy, meskipun bukan anggota institusi seperti Sambo, kasusnya telah membuka berbagai persoalan di tempat ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, bekerja. Rekening gendut berbagai petinggi pajak terbongkar. Mirisnya lagi, sebanyak 13 ribu pegawai pajak disebut belum melaporkan LHKPN.
Ihwal terakhir kemudian dibantah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di akun Instagramnya. Tegas Bu Ani, tidak semua pegawai pajak diwajibkan melaporkan LHKPN. Kendati demikian, mereka tetap melaporkan harta dan SPT Pajak melalui Aplikasi Laporan Pajak dan Harta Kekayaan (Alpha), yakni aplikasi internal Kemenkeu.
Terlepas dari bantahan Sri Mulyani, publik terlanjur kecewa. Terkhusus pada terbongkarnya rekening gendut dan hidup mewah para petinggi pajak, berbagai pihak menyerukan untuk tidak membayar pajak. Menangkap perbincangan warganet terhadap kasus ini, banyak komentar mengatakan tidak ingin uang pajaknya berakhir menjadi fasilitas mewah para petinggi pajak, seperti mobil Rubicon.
Terkait tanggapan Sri Mulyani, terdapat satu pertanyaan mencuat. Kenapa baru setelah kasus Mario Dandy sang Menkeu turun gunung berkomentar? Sri Mulyani juga mewanti-wanti berbagai petinggi pajak untuk tidak hidup mewah.
Dengan posisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kemenkeu, bukankah dengan status sebagai Menkeu, Sri Mulyani seharusnya sudah lama mengetahui persoalan ini?
Ikan Busuk dari Kepalanya
Untuk menjawab pertanyaan itu, ada dua jawaban yang dapat diberikan. Pertama, ini sepertinya merupakan persoalan laten yang sudah mencapai tahap lumrah.
Mengutip teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, salah satu faktor kuat yang membuat aturan tidak berjalan adalah budaya hukum di masyarakat. Karena penegakan hukum begitu lemah, berbagai praktik mengabaikan hukum, aturan, dan perangkat moral kemudian menjadi terbudaya.
Jika persoalan itu sudah terjadi, sebagai Menkeu, Sri Mulyani sekiranya harus menjadi strong leader atau pemimpin kuat.
Nicholas J Price dalam tulisannya The Importance of Recognizing Strong Governance Leaders, menyebutkan kehadiran pemimpin kuat memungkinkan dan mempromosikan praktik tata kelola pemerintahan yang lebih baik.
Strong leader menjadi semacam pemantik sekaligus katalis perubahan organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin yang kuat mendukung pemerintahan yang baik. Organisasi yang hebat membutuhkan pemimpin hebat.
Konteks strong leader ini mengingatkan kita pada peribahasa, “ikan busuk dimulai dari kepalanya”. Untuk memperbaharui institusi perpajakan, maka kepala-kepalanya, termasuk Kemenkeu perlu diperbaiki terlebih dahulu.
Kuasa Sri Mulyani Tidak Cukup?
Pembacaan kedua, ini mungkin bukan soal kepemimpinan Sri Mulyani, melainkan kekuasaan dan pengaruhnya kalah besar.
Ahmad Khoirul Umam dalam penelitiannya Understanding the influence of vested interests on politics of anti-corruption in Indonesia, menjelaskan vested interest (individu/kelompok kepentingan) memiliki pengaruh besar dalam membuat agenda anti-korupsi di Indonesia berjalan stagnan dan memiliki masa depan yang tidak pasti.
Temuan Umam menjadi semakin menarik ketika dielaborasi dengan tulisan Klon Kitchen yang berjudul The New Superpowers: How and Why the Tech Industry is Shaping the International System.
Menurut Kitchen, revolusi industri keempat telah membentuk kembali kontur tatanan global dan membuat aktor non-negara seperti perusahaan raksasa menjadi penantang otoritas, kedaulatan, dan kapasitas pemerintah.
Dalam temuan Milan Babic dan kawan-kawan yang berjudul Who is more powerful – states or corporations?, dari 100 entitas dengan pendapatan tertinggi pada 2016, 71 diantaranya merupakan perusahaan raksasa. Pendapatan Walmart dari Amerika Serikat (AS) bahkan di atas negara ekonomi maju seperti Spanyol, Belanda, Australia, dan Korea Selatan.
Dengan kekuatan ekonomi menjadi alat tawar utama di era kontemporer, bukankah itu membuat para pemilik kapital raksasa dapat menantang daya tawar negara?
Penekanan ini menjadi semakin krusial apabila melihatnya dari studi Hubungan Internasional (HI), khususnya perspektif realis.
Cecep Bilad dalam penelitiannya Does the State Really Exist? A Perspective from the Transcendent Philosophy of Mullā Ṣadrā, menjelaskan bahwa banyak yang menyebut negara (state) sebenarnya merupakan metafora atau entitas imajinatif.
Dalam faktanya di lapangan, yang kita sebut dengan interaksi antar negara bukanlah dialog antara AS dengan Rusia, melainkan antara pemimpin tiap negara, yakni Joe Biden dan Vladimir Putin.
Pun demikian pada konteks institusi negara. Kemenkeu tidak hadir sebagai representasi kekuatan negara, melainkan representasi pengaruh personal dari tiap-tiap petingginya, seperti Sri Mulyani.
Pada konteks ini kita perlu membedakan antara position power dengan personal power. Position power merupakan kewenangan yang didapatkan karena menduduki jabatan tertentu. Pada konteks pemerintahan, kewenangan itu diberikan oleh undang-undang.
Namun, masalahnya, position power itu terkadang tidak terimplementasi secara de facto. Berbagai pejabat tetap menjadi macan ompong karena tidak memiliki personal power atau pengaruh individu yang besar.
Kembali menarik tulisan Klon Kitchen. Dengan pemilik kapital raksasa (konglomerat) sekarang menjadi penantang otoritas negara, bukankah itu menunjukkan persoalan pajak menjadi sangat sensitif dan berisiko. Apa yang paling tidak disukai dari para konglomerat adalah pajak.
Bahkan, seorang Al Capone, gangster dan pebisnis asal AS paling berbahaya di zamannya, baru tertangkap oleh pihak berwajib setelah tersandung masalah pajak.
Singkatnya, mungkin dapat dikatakan Sri Mulyani tengah menghadapi kekuatan besar yang melampaui personal power-nya. Ini yang mungkin membuatnya baru bersuara terkait masalah institusi perpajakan, meskipun sudah mengetahuinya sejak lama.
Konteks itu tampaknya yang membuat Sri Mulyani seolah “melembek” akhir-akhir ini. Mulai dari menyebut kekayaan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo karena harga tanah dan rumah yang naik, hingga secara implisit menyebut moge yang dibeli berasal dari uang halal dan gaji resmi.
“Bahkan apabila moge tersebut diperoleh dan dibeli dengan uang halal dan gaji resmi, mengendarai dan memamerkan mode bagi pejabat/pegawai pajak dan Kemenkeu telah melanggar azas kepatutan dan kepantasan publik,” ungkap Sri Mulyani pada 27 Februari 2023.
Well, harapannya kasus Mario Dandy merupakan game changer. Semoga kasus ini menjadi titik kritis reformasi di institusi perpajakan. Mari kita lihat. (R53)